Short Course HAKI Komda Bali 2010
Short course atau seminar yang diadakan HAKI Komda Bali ini dihadiri oleh pengurus HAKI pusat yaitu Ir. Steffie Tumilar, M.Eng, MBA, IPU dan DR. Ir. Drajat Hoedajanto, M. Eng, IPU sebagai pembicara dengan tema Praktek Konstruksi Yang Salah Yang Dijumpai Pada Gedung Pasca Gempa. Acara ini diadakan pada hari Sabtu, 9 Oktober 2010 di gedung pasca sarjana Universitas Udayana.
Sebagai pembicara pertama yaitu Bapak Steffie, disini beliau menjelaskan pendahuluannya terlebih dahulu, mengenai apa itu gempa. Dijelaskan gaya gempa yang diperhitungkan untuk merencanakan sebuah bangunan ialah gempa tektonik, yaitu gempa yang ditimbulkan dari pergerakan lempeng – lempeng tektonik, dengan berbagai jenis bentuk pergerakan atau perambatan gelombang gempanya.
Dengan mengambil contoh dari kerusakan – kerusakan gedung pasca gempa yang pernah terjadi baik di Indonesia, seperti Padang, Tasik, dan gempa di luar Indonesia, seperti di Kobe, dan tempat lainnya, beliau memaparkan bahwa penyebab terjadinya kegagalan pada bangunan tersebut yaitu karena salahnya pihak – pihak yang terlibat dalam pembangunan gedung tersebut dalam mengimplementasikan code. Setelah di investigasi ternyata banyak juga perencana yang mengacu pada code – code lama dalam merencanakan bangunan – bangunan tersebut, sehingga beliau mengharapkan agar para praktisi terus mengupdate pengetahuannya mengenai code – code yang baru dan untuk terus belajar, karena teknologi akan terus berkembang.
Dalam hal pelaksanaan juga banyak dijumpai kontraktor yang “nakal”, mereka meremehkan hal – hal yang dianggap sepele, padahal itu menyangkut nyawa orang banyak. Banyak sekali ditemui kerusakan yang terjadi terletak pada joint balok – kolom, yang dikarenakan tidak dipasangnya sengkang pada kolom disekitar joint, padahal sengkang memiliki peranan yang sangat penting dalam menahan gaya geser yang diakibatkan oleh gaya gempa tersebut. Pihak pengawas pun ikut bertanggung jawab karena kurang baik dalam mengawasi pekerjaan kontraktor.
Daerah Bali merupakan daerah yang rawan gempa, tetapi mungkin karena sepanjang ini belum pernah terjadi gempa, jadi bahaya gempa serasa belum mendapat perhatian lebih dari kontraktor pelaksana. Sering sekali dijumpai pen-detailan yang dilewatkan. Kata pelaksana di Bali, jangan terlalu idealist, perfeksionis, atau bahasa balinya “saklek”, kalau tidak menyangkut nyawa orang banyak sih boleh aj demikian, tp ini kan menyangkut nyawa orang. Hah.. semoga aja nanti semua selamat jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, biar aja gedungnya aja yang roboh, biar tahu rasa kontraktornya.
Setelah Presentasi dari sponsor, pembicara selanjutnya dilanjutkan oleh bapak Drajat Hoedajanto. Beliau sangat kritis dan sepertinya sangat gregetan sekali dengan pemerintah, yang dianggap kurang serius dalam bahaya gempa ini. Melanjutkan penjelasan sebelumnya selain kesalahan pada joint balok – kolom, banyak juga ditemui kerusakan pada gedung akibat soft storey, yang dikarenakan terjadinya sendi plastis pada kolom. Seharusnya kolom direncanakan lebih kuat dari balok agar gedung tidak mudah runtuh. Banyak sekali dijumpai pada bangunan ruko, yang pada lantai dasarnya tidak ada tembok, sedangkan lantai atasnya diisi tembok, jadi kolom pada lantai dasar tidak cukup kaku dalam menahan beban diatasnya yang dibarengi gaya geser saat terjadinya gempa.
Perencanaan yang salah dalam menentukan panjang kolom yang sisinya diapit tembok juga menyebabkan soft storey. Dimana semakin pendek kolom maka kekuatan gesernya semakin besar, sedangkan perencana tidak menyadari dengan menambahkan tembok pada sisi kolom dapat memperpendek panjang kolom yang direncanakan. Percobaan yang dilakukan di Jepang dengan benda uji gedung bertingkat dengan skala 1:1, jadi dengan percobaan menggunakan gedung sebenarnya telah membuktikan hal itu. Penggunaan sistim dumper juga sedikit disinggung dalam seminar ini untuk meredam gempa pada bagian bawah struktur.
Bapak Drajat juga banyak menjelaskan mengenai masalah code, beliau menganjurkan untuk mengacu pada ASCE 7-10, 2009 – BC, LATBDC 08, FEMA 273, FEMA 451. Dijelaskan juga hal – hal yang perlu diketahui dalam merencanakan gedung yang tahan gempa diantaranya :
- Magnitude gempanya
- Jarak lokasi ke sumber gempanya
- Potensi kerusakan di lokasi akibat gempa ( jenis tanahnya )
- PSA dan RSA dari lokasi yang ditinjau ( media yang dilewati gelombang gempa )
- Penggunaan code yang sesuai
Saat ini HAKI juga sedang mempersiapkan proposal penggantian SNI – 03 – 1726 – 2002 ke versi yang terbaru, dimana peta wilayah gempa akan direvisi berdasarkan periode 0,2 dan 1,0 detik.
Kerancuan mengenai satuan gempa pun disinggung dalam seminar ini, perlu diingat bahwa perhitungan magnitude gempa tidak hanya memakai teknik Richter. Kadang-kadang terjadi kesalahpahaman dalam pemberitaan di media tentang magnitudo gempa ini karena metode yang dipakai kadang tidak disebutkan dalam pemberitaan di media, sehingga bisa jadi antara instansi yang satu dengan instansi yang lainnya mengeluarkan besar magnitudo yang tidak sama. Seharusnya kita menggunakan satuan momen magnitude saja daripada skala richter dikarenakan besaran momen magnitude lebih menggambarkan kerusakan yang terjadi di lokasi karena pengaruh karakteristik media yang dilewati gelombang gempa. Skala Richter, hanya cocok dipakai untuk gempa-gempa dekat dengan magnitude gempa di bawah 6,8. Di atas magnitudo itu, perhitungan dengan teknik Richter ini menjadi tidak representatif lagi.
Demikian sedikit penjelasan dari sekian banyak materi yang dipaparkan kedua pembicara dari HAKI pusat tersebut. Untuk lebih jelasnya, pembaca dapat mendownload file materi presentasinya disini
Download FEMA 451 disini
Download FEMA 273 disini
😀
Nombre de wm-site.com a GoogleReader!
Gracias
Edwas
Nice info….. sorry link nya blom sempat di aktifkan, masih di Bali.. Sanur Gw sob.
ok deh sob..
lg jalan2 yaw.. 🙂